Perilaku Mementingkan Kerabat Di Lingkungan Pemerintah

Perilaku Mementingkan Kerabat Di Lingkungan Pemerintah – Pengunjuk rasa Gerakan Tuntutan Rakyat (GERAM) menggelar aksi di depan Balai Pelaksana (Bapel) Surabaya – Badan Pembangunan Daerah (BPWS) Madura, Jawa Timur, Kamis (19/3). Mereka menuntut agar BPWS dibubarkan karena dirasa menjadi sarang pertengkaran dan pertengkaran. ANTARA FOTO/Bima/Asf/Spt/15.

Kata nepotisme berasal dari bahasa latin nepos yang berarti “keponakan” atau “cucu”, dengan kata lain berarti mengutamakan anggota keluarga atau teman dalam memberikan pekerjaan atau keistimewaan.

Perilaku Mementingkan Kerabat Di Lingkungan Pemerintah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pilih kasih dapat berarti perilaku yang menunjukkan sikap pilih kasih yang ekstrim; kecenderungan untuk mengutamakan (membantu) kerabatnya, terutama dalam kedudukan, dalam jabatan kekuasaan, tindakan memilih kerabat atau kerabatnya sendiri untuk memegang kekuasaan.

Campakkan Demokrasi Songsong Khilafah, Khilafah Harapan Umat?

Sedangkan menurut Undang-undang Pemberantasan Korupsi no. 28 Tahun 1999 Pasal 1 Pasal 5, nepotisme adalah setiap perbuatan melawan hukum yang dilakukan seorang direktur negara yang dilakukan demi kepentingan keluarga atau kelompoknya dalam kaitannya dengan kepentingan bangsa, bangsa, dan negara.

Persahabatan juga dapat diartikan sebagai usaha dan tindakan seseorang (yang mempunyai status dan kehormatan) untuk membawa kerabat dan anggota keluarganya ke dalam situasi yang berbeda agar dapat memberi manfaat bagi mereka. pemerintah lokal dan nasional, pimpinan perusahaan milik negara, pemimpin militer dan warga negara, serta tokoh politik. Mereka menempatkan anggota atau keluarga tanpa mempertimbangkan kemampuan dan nilainya.

Meski praktik nepotisme ini sudah berlangsung lama, namun kata “nepotisme” sudah banyak digunakan di Indonesia sejak tahun 1998, ketika tersiar kabar tentang keluarga mantan Presiden Soeharto dan pejabat pemerintah pada masa Pemerintahan Baru. pelaku korupsi, kolusi, dan diskriminasi (disingkat KKN) banyak diberitakan di media cetak dan elektronik. Masyarakat Indonesia menuntut penghapusan sistem KKN melalui serangkaian demonstrasi bersama perwakilan DPR dan MNR.

Faktanya, praktik nepotisme sering dilakukan di Indonesia dan sudah menjadi rahasia umum ketika merekrut tenaga kerja baru, baik di instansi pemerintah maupun perusahaan publik dan swasta. Masyarakat masih menganggap nepotisme tidak ilegal seperti korupsi. Faktanya, pengukuhan UU No. 28 Tahun 1999 merupakan landasan hukum yang memadai yang melarang terjadinya proses seleksi yang bias.

Aleg Pks: Pola Asuh Pengaruhi Perilaku Brutal Sebagian Generasi Muda

Dampak yang lebih luas, bias seleksi juga menjadi salah satu faktor pembentuk pragmatisme pemikiran masyarakat. Jika masyarakat ingin anaknya menjadi pemimpin di masa depan, idenya bukan menjadi pegawai negeri, tapi menarik saudara-saudarinya untuk menduduki posisi mereka di masa depan dengan memilih satu sama lain daripada bersaing dengan orang lain dalam beberapa hal.

Baca juga  Perkenaan Bola Dengan Punggung Kaki Bagian Luar Harus Tepat Pada

Pada contoh kasus nepotisme yang terjadi di lembaga X, nepotisme pejabat terjadi secara bertahap dan berulang-ulang. Orang ini berhasil menempatkan beberapa kerabatnya di berbagai posisi strategis di sektor tersebut, yakni di bidang keuangan, administrasi, kesekretariatan, dan perhotelan.

Orang-orang yang terlahir tersebut membentuk ‘gank’ tertentu di institusi ini. Hal ini berdampak pada terciptanya lingkungan kerja dan budaya politik kantor yang tidak sehat. Bias dapat menimbulkan konflik loyalitas dalam organisasi, terutama jika salah satu anggota keluarga ditunjuk sebagai atasan langsung bagi anggota keluarga lainnya. Rekan kerja tidak akan merasa nyaman dalam situasi seperti itu, jadi hal seperti itu sebaiknya dihindari.

Padahal, semua pejabat harus melayani masyarakat. Artinya kepentingan umum berada di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, para pejabat harus menolak praktik-praktik yang mendukung bias. Perubahan pola pikir yang dimaksud Presiden Joko Widodo tentu tidak sejalan dengan diskriminasi. Oleh karena itu, kami meminta kepada mereka yang berkuasa untuk mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Cara Pesan Tiket Bioskop Online Mudah Tanpa Antri

Pihak berwenang harus mau memperbarui dan memperbaharui cara berpikirnya. Bagaimana negara kita bisa maju kalau para pelayan kita terlalu memikirkan diri sendiri dan keluarga demi mencari keuntungan. Ayolah, para pejabat negaraku. Akhiri perasaan nepotisme, bangunlah Indonesia menjadi negara maju dan lebih baik. (*)

*) Penulis adalah mahasiswa semester 1 Jurusan Komunikasi Departemen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik [FISIPOL] Universitas Sumatera Utara [USU] Medan. Evolusi. Yuval Noah Harari menjawab dalam bukunya, Sapiens. Homo sapiens berbeda dengan hewan lain karena didukung oleh kemampuan berhubungan dalam skala besar.

Artinya kita bisa menciptakan sistem yang kompleks, seperti peradaban. Untuk dapat melakukan hal ini, salah satu hal yang perlu kita kembangkan adalah belas kasih—memperluas lingkaran kasih sayang dan kepedulian terhadap makhluk lain selain manusia.

Bersama Frans de Waal, ahli primata dan etolog asal Belanda ini telah meneliti topik perilaku pada hewan, termasuk manusia, selama bertahun-tahun. Simpati, kerjasama, keadilan dan keharmonisan – kepedulian terhadap kesejahteraan tampaknya merupakan karakteristik lain dari umat manusia.” Dia mempelajari perilaku monyet dan mamalia lainnya, menunjukkan berapa banyak dari ciri-ciri perilaku yang kita semua miliki.

Kohelet: The Quest For Meaning Of Life

Dia mengklaim bahwa di dalam diri kita, kita benar-benar bersaing, kita suka menyerang satu sama lain. Ia berkata: “Karakter seperti kasih sayang, kerja sama, keadilan, dan kesetaraan hanya ada karena kita sebagai masyarakat telah memahami bahwa ini adalah cara terbaik untuk hidup dan sukses.” Namun kenyataannya kita berjuang demi kepentingan kita sendiri.

Baca juga  4/5 Dibulatkan Menjadi

Pada awalnya kami merawat kerabat kami dan kemudian berkembang menjadi suku-suku yang berkembang dengan berbagai ukuran. Lebih dari itu adalah kemampuan kita untuk menciptakan dan berbagi cerita dan legenda yang kompleks, serta memiliki bangsa dan negara-bangsa. Pola rasial inilah yang menghalangi kita untuk tidak mementingkan diri sendiri atau mencegah kita bertindak tanpa pamrih dalam segala situasi.

Untuk menjaga integritas bangsa kita (baik itu pemerintah, kelompok agama, partai politik, atau tim sepak bola) kita harus menetapkan batasan kelompok. Kita menciptakan “kita vs. mereka” yang kuat, yang seiring berjalannya waktu dapat menciptakan polarisasi yang kuat.

Jika “mereka” menang, maka “kita” kalah. Ketika “kita” berkuasa, “mereka” berada di bawah kita. Apa yang bukan “kita” tidak seharusnya dianggap sebagai “kita”. Tidak sulit untuk menemukan contoh dimana hal ini menimbulkan konsekuensi negatif.

Ldii Dukung Pemerintah Fokus Bina Usia Dini

Namun, ada cara-cara halus di mana “kita vs. mereka” yang kuat menghalangi kita untuk berbelas kasih. Hal ini terkait dengan bias kognitif dan insentif alami lainnya yang telah diberikan oleh evolusi kepada kita. Meskipun hal-hal tersebut berguna di masa lalu, hal-hal tersebut sering kali tidak membawa kesuksesan di lingkungan saat ini.

Sesekali orang melihat drama lama tentang para pemimpin yang dituntut karena berusaha memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Pemimpin mereka melupakan dirinya sendiri.

Jika berbicara tentang kepemimpinan, di lingkungan saat ini sangat sulit menemukan seseorang yang egois. Adam Grant dalam bukunya “Give and Take” (2013) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional yang efektif dan efisien harus didasarkan pada konsep memberi dan menerima, dan keduanya harus digunakan dengan cara yang berbeda. kedua karena “siapa pun yang terbiasa memberi, tanpa menerima, akan memiliki jaringan hubungan.

Kalau dipikir-pikir, beberapa pemimpin Partai Republik telah melupakan konstituennya. Mereka dilecehkan oleh lembaga antikorupsi karena berupaya memperkaya diri sendiri. Satu demi satu mereka berkumpul di balik jeruji besi. Itulah tragedi bangsa ini. Kita menemukan pemimpin tanpa jiwa (necrophilia).

Berita Dan Informasi Pemerintah Terkini Dan Terbaru Hari Ini

Seorang warga naik ke atap jembatan penyeberangan di Dukuh Atas, Jakarta, Senin (12/9) sambil berteriak menentang mafia dan korupsi dengan membawa spanduk. Pengumuman publik ini disampaikan dalam rangka memperingati Hari Pemberantasan Korupsi sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi./Lucky Prasiska (UKI) 12-09-2013

Pemimpin yang kurang kasih sayang, tidak punya rasa keadilan dan korup. Faktanya, mereka adalah pemimpin yang dipercaya masyarakat. Hilangnya kepercayaan rakyat karena pemimpinnya mengkhianati suara rakyat. Sesekali orang melihat drama lama tentang para pemimpin yang dituntut karena berusaha memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Pemimpin mereka melupakan dirinya sendiri. Orang-orang kecewa.

Baca juga  Teknik Tuang Sekali Pakai Digunakan Untuk Karya Kerajinan Dalam Bentuk

Selain itu, ada juga pemimpin yang mempunyai gaya kepemimpinan yang egois, sombong, dan angkuh. Seorang pemimpin yang merasa dirinya adalah master of masters. Seorang pemimpin yang hanya menganut satu prinsip. Perkataan dan tindakan yang ditampilkan tidak berdasarkan kemauan manusia. Hal ini tidak menghasilkan pemimpin yang baik. Mereka juga sering menggunakan kata-kata yang menghasut sehingga memicu kebencian dan menimbulkan perpecahan. Gaya kepemimpinan ini sudah ketinggalan jaman.

Pemilu sudah berakhir. Faktanya – berdasarkan hasil pemilu – masyarakat mencari pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Seorang pemimpin yang memimpin dengan memberi contoh; melebihi ekspektasi publik. Pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan orang lain (rakyat).

Asal Usul Dan Cita Cita Sekolah Modern

Menurut Piljavin (1990), ada aspek perilaku altruistik yang harus diperhatikan oleh pemimpin dan masyarakat masa depan: perilaku tersebut harus bermanfaat bagi orang lain, harus dilakukan secara sukarela, harus dilakukan dengan sengaja, manfaatnya harus menjadi tujuan bagi dirinya sendiri, dan itu harus dilakukan. tanpa mengharapkan imbalan eksternal.

Dengan demikian, pemimpin yang pasif adalah pemimpin yang mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan kelompok. Tindakannya tidak mementingkan diri sendiri dan dia berusaha keras untuk membantu konstituennya bila diperlukan. Inilah kepemimpinan yang bermanfaat bagi rakyat.

Tidak banyak pemimpin yang berperilaku buruk. Anda dapat menghitungnya dengan jari Anda. Ada beberapa contoh pemimpin altruistik yang terkenal: Bunda Teresa, Dalai Lama, Mahatma Gandhi, dan Eleanor Roosevelt. Mereka tumbuh dalam minat mereka yang berbeda. Perilaku dan gaya kepemimpinan mereka menyebabkan kepemimpinan yang melayani tidak dihargai. Apakah ada pemimpin seperti itu yang masih hidup saat ini?

Menurut Smith (2004), kepemimpinan yang melayani berarti memahami dan menggunakan kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan orang yang dipimpin di atas kepentingannya sendiri.

Kelas 5: Nilai Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Sehari Hari

Kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang menghargai dan mengembangkan orang, membangun komunitas, menumbuhkan kinerja otentik, memberikan kepemimpinan untuk kepentingan pengikut, dan berbagi kekuasaan demi kebaikan semua orang. Artinya, melayani, peduli, berbagi, dan mengembangkan perilaku kepemimpinan adalah inti dari model kepemimpinan yang melayani.

Selain itu, layaknya pegawai negeri, pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri harus jujur. Ada pepatah yang mengatakan: “kepercayaan adalah akar dari semua kepemimpinan yang hebat”. Untuk menjalankan pemerintahan, pemimpin harus mendapat kepercayaan dari rakyat. Tanpa rasa saling percaya, mustahil mencapai tujuan.

SEMARANG, 23/12 – KORUPSI INTERNAL. Tenaga ahli dari Komite Penelitian dan Pemberantasan Korupsi, Kerjasama, dan Korupsi (KP2KKN) berdiri di samping spanduk antikorupsi, saat kampanye antikorupsi di Semarang, Jawa Tengah, Minggu (23/12). KP2KKN tercatat pada musim semi

Contoh perilaku di lingkungan bangsa dan negara, arsitektur lingkungan dan perilaku, perilaku ramah lingkungan, contoh perilaku di lingkungan keluarga, perilaku manusia terhadap lingkungan, perilaku jujur di lingkungan masyarakat, contoh perilaku jujur di lingkungan keluarga, contoh perilaku merusak lingkungan, perilaku manusia yang merusak lingkungan, contoh perilaku peduli lingkungan, contoh perilaku di lingkungan masyarakat, perilaku menjaga kebersihan lingkungan